Dia
menyawerku tepat di depan wajahku saat aku membawakan tembang melayu,
lembar-lembar demi lembar uang kertas ia gelontorkan begitu saja. Aku juga
segera mengambil selebaran uang yang jatuh di sekitarku. Setiap kali pementasan
orkes selalu saja yang begitu, entah apa yang ada didalam kepala mereka dengan
Cuma-Cuma mengeluarkan uang yang tidak bermanfaat. Sebagai seorang wanita,
kerap kali aku merasakan malu sedih diperlakukan seperti barang murahan. Namun
harus aku akui bahwa adalah seorang penyanyi orkes dangdut. Pandangan
orang-orang mengenaiku itu aku sudah memahaminya, kalau aku adalah wanita
penggoda, wanita yang tidak mempunyai martabat dan harga diri. Bahkan sempat
aku hendak dibeli oleh sorang pengusaha kaya. Aku menolaknya. Memang aku adalah
wanita penghibur. Namun aku tidak ingin menjual kehormatanku.
Berawal
dari jalan itu aku mulai melihat dirinya. Dia tidak terlalu tampan namun enak
dipandang dan apabila dia tersenyum sungguh manis. Dia seorang laki-laki yang
penuh wibawa. Aku jatuh cinta kepadanya. Namun aku tidak tahu siapa dia,
darimana asalnya. Aku malu untuk mengenalnya. Aku sungguh malu jika dia tahu
bahwa aku seorang penghibur.
Sesak
yang kurasakan mungkin tidak akan menuai penyelesaian yang indah. Kurasakan memudar
dalam angan-anganku. Setiap persimpangan mataku kutancapkan kesegala arah.
Dalam setiap persinggahan kusempatkan telinga ini kupertajamkan demi
mendengarkan hembusan nafasnya. Sering aku berharap hembusan angin ini membawa
setitik warna dan aroma tubuhnya. Dalam lantunan nada pula kumemohon agar dia
mendengarkanku.
Aku
adalah wanita penghibur jagat panggung dengan saweran sebagai pemeriah suasana
yang itu menjadikan aku semakin kalut dibawah bayang kelabu. Mendung dalam hati
senantiasa mengawasiku dari setiap sudut hati. Setiap rupiah yang aku terima
tak menghapuskan rasa hina. Setiap elu-eluan dan sorak-sorai penonton tak juga
mengindahkan gejolak raga. Peluh dan pesakitan dalam batin ini semakin mencuri
kesadaranku tentang dia. Aku ingin berhenti. Aku malu menjadi wanita saweran di
atas panggung. Yang setiap mata senantiasa menelanjangiku. Aku tahu mereka
melihatku tanpa busana padahal aku berpakaian rapi dan sopan. Aku juga
bergoyang tak seperti wanita murahan. Namun aku tahu bahwa mereka melihatku dari
sisi lain. Aku tahu itu. Karena aku hanyalah wanita penghibur, wanita saweran.
Apakah
aku tidak berhak jatuh cinta layaknya manusia yang lainnya. Menikmati jalannya
percintaan muda-mudi. Berbagi keluh kesah, berbagi bahagia dan sedih. Apakah
seorang wanita saweran tidak dapat jatuh cinta. Aku ingin yang sewajarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar