Kembali aku
mendengar awan kembali berebut mendung. Gelap kembali merayapi seluruh
rongga-rongga jalan sempit ini. Kutercengang melihat kejadian demi kejadian di
persimpanganku kini. Bertarungpun aku akan kalah dengannya. Saling berbincang saling
mencaci saling tuduh benar adanya. Ketika matamu mataku melihat mereka
berkelahi. Aku mulai gemetar. Suara deru menggerutu di belakang pundakku.
Merinding. Hingga semua burung gagak kabur ketika mereka mulai terdengar
menghambur.
Nampak dara
cantik di ujung jalan ini. Kembali memori demi memoriku mulai terkuak. Lenggak
jalan merayu setiap jengkal kaki yang mengaduh pada tanah.
Lenggok badan serta
gemulainya tangan mungil itu merajuk setiap dada yang masih terbakar api juang.
Serupa namun tak sama. Ketika aku mulai mengenal rautan paras manisnya. Jiwaku
mulai terpengaruh oleh setiap lantunan bicaranya. Aku mengeluh terhadap apa
yang menjadi pengikat semu. Tarian itu juga mempengaruhiku dalam setiap kuberfikir
dan dalam bertindakku.
Setiap tarian
angin ini membawakan seluruh kemunafikan. Serang serbu terjang dan lawan itulah
ocehanmu dalam setiap suara penggebumu.
Mungkin gelapnya rombongan awan akan menghilangkan eloknya cakrawala.
Ataukah mungkin mereka sengaja mempengerahui kumbang-kumbang untuk tidak merayu
setiap bunga di atas pot penuh hidup. Sudahkah mereka sengaja meracuni bunga
kertas hingga kupu-kupu beranjak dari medan aromanya.
Namun aku
menemukan sedikit kembang sari di atas bukit altar. Setelah kumelepas semua
aksesoris kehinaan yang mengerubutiku sejak lalu. Gelombang peraduan menitihkan
jari jentiknya dipenitihan yang juga mulai kupelajari. Kemudian merekalah yang
juga menyatakan penghiantan terhadap kehidupanku. Engkau lembar muda gadis
manis penuh amarah. Lelahmu kini mendekapi kepalaku. Di ujung jalan itu aku
mendengar engaku mengaduh pada awan yang berjam-jam tidak menanggapimu. Setiap
tetes air matamu yang sia-sia. Di ujung jalan itu. Aku mulai mengenal sejengkal
wajah teduh manis penuh amarah dan kobaran cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar